Tegar, Kisah Pengamen Cilik Jadi Artis
VIVAnews – Sebuah sedan lawas meluncur masuk ke pekarangan satu studio musik di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Hari itu Selasa, 11 Juni 2013, hari tengah rembang petang.Seorang bocah lelaki dengan rambut kemerahan turun dari mobil itu. Lalu menyusul lima orang anak muda. Si bocah tampak tak begitu bahagia. Dahinya berkerut. Dia berjalan agak pincang. Sendal jepit merek Woles di kakinya itu seperti diseret manakala ia berjalan. Kaki kanannya rupanya lagi bermasalah.
Dua lelaki, yang sudah datang lebih dulu, menyongsongnya. Seorang lelaki sigap memberinya sebotol minuman dingin. Si bocah cepat merebutnya. Meski baru berumur 12 tahun, dia tampil seperti orang penting. Ia juga tampak senang dilayani.
Namanya Tegar Septian. Dulu dia pengamen cilik yang wara wiri Subang-Kopo-Cikampek. Kini, dia sedang menikmati kemasyuran. Wajahnya bolak-balik tampil di televisi. Lagunya kadang terdengar di sela-sela acara di layar kaca.
Sejak video ngamen-nya diunggah seorang mahasiswa via YouTube, 23 Mei 2012, namanya melambung. Fantastis, hingga kini video itu sudah ditonton lebih dari 6,6 juta kali (Lihat Infografik: Balada Tegar si Pengamen Cilik).
Sejak kecil, bocah itu keras hidupnya. Ia ditinggal begitu saja oleh ayahnya Ari, saat ia berumur setahun. Dalam keadaan serba kurang, ibunya Ratna Dwi Sasi merawatnya. Mungkin itu sebabnya nama bocah itu adalah Tegar.
Di Subang, Tegar dan ibunya tak punya rumah sendiri. Mereka kadang menunggu belas kasihan kerabat, tetangga dan sanak keluarga untuk mencukupi makan.
Ratna, ibunya Tegar itu, juga seorang pengamen. Sejak dalam kandungan, Tegar sudah dibawa naik turun kereta Jawa-Jakarta. Si ibu berpikir bahwa janinnya bakal mewarisi profesinya. Jadi pengamen untuk menyambung hidup.
Itu dulu.
Sekarang Tegar sudah mulai tenar sebagai penyanyi. Hidupnya berubah. Ia sudah bisa membiayai sekolah dua adiknya yang tinggal di Subang. Padahal ia sendiri tak sekolah. Dia hanya mengenal papan tulis dan kapur hingga kelas dua Sekolah Dasar.
Tiang keluarga
Kini dia tinggal di apartemen. Ia juga memboyong ibu dan satu adiknya yang berumur satu setengah tahun bernama Safa ke apartemennya itu. Ruang apartemen itu berukuran sekitar 5 x 5 meter, termasuk kamar mandi. Harga sewanya Rp22 juta per tahun. Sedikit berantakan. Maklum, penghuninya orang sibuk.
Di belakang pintu ada rak sepatu. Isinya berjubel. Sepatu putih yang biasa dipakai Tegar, sepatu merah kecil milik Safa, sepatu wanita milik Ratna, sampai sepasang roller blade. Tegar hobi bermain roller blade, hampir setiap sore ia memainkannya.
Sederet dengan rak sepatu, ada dispenser yang isi galon-nya tinggal seperempat. Lemari es warna hijau, TV LED 32 inch yang diletakkan begitu saja di lantai lengkap dengan Playstation 3.
Di samping pintu masuk, adalah istana Ratna. Terdapat kompor gas yang terhubung dengan gas 15 kg. Di bawah kompor ada sedikit ruang untuk menyimpan peralatan dapur. Sebuah panci kecil, tiga piring, dan satu mangkok melamin, serta beberapa gelas dan sendok.
Tegar kini menjadi tiang keluarga. Meski kesannya dia memanggul tanggungjawab orang dewasa, tapi Tegar ya tetap saja seorang bocah. Soal kaki pincangnya tadi dia mengaku karena menendang besi. “Dipegang kayaknya lembek, tapi pas ditendang kok keras. Ternyata besi,” ceritanya pada kami sambil meringis.
Cedera itu tak menghalangi jadwal latihan nyanyinya. Sore itu, Tegar dan band dadakannya dengan personel Hari (bass), Popo (keyboard), Indra (gitar), dan Fle (drum) latihan untuk tampil keesokan harinya di Pekan Raya Jakarta (PRJ).
“Tegar akan nyanyi sembilan lagu, jadi opening konsernya Setia Band,” ujar Harpan Hendrawan, perwakilan label Harpa Records yang sore itu mendampingi Tegar.
Sementara yang lain mengambil posisi, ia duduk santai di kursi oranye dan mengarahkan microphone ke dekatnya.
Mungkinkah bila ku bertanya, pada bintang-bintang,,,,,
Itu adalah petikan lagu Mimpi yang Sempurna milik Peterpan. Wajahnya mendadak sumringah. Matanya berkilat. Musik dengan mudah membangunkan suasana hatinya.
Matanya merem-melek, menghayati lagu. Tapi, dia tetap seorang bocah. Masuk lagu ketujuh semangatnya meluntur. Kaki kanannya diangkat seperti bersila. Tak memikirkan kaus yang dipakai bakal melar, bocah ini memasukkan tangan dalam kaus. Jika tangan itu terangkat, ketiaknya terlihat. Tegar terkikik malu.
“Istirahat dulu yuk,” rengeknya. Dia mulai lelah.
Makan sehari tujuh kali
Belum lagi satu jam, ia dibujuk latihan lagi. Tapi Tegar mulai tak serius. Menyanyi asal-asalan, sambil memainkan Blackberry. Barang pertama yang dibelinya dari penghasilan sebagai artis.
Selesai lagu, ia menghentikan latihan lagi. Perutnya keroncongan. Kebetulan, Yudi asistennya baru datang membeli nasi bungkus untuknya. Dengan garang ia membuka bungkusan berisi nasi rendang dan sayur singkong.
“Tegar memang makannya banyak. Sehari bisa tujuh kali,” kata asistennya tadi. Tak hanya asisten dan perwakilan label yang selalu mendamping, bocah ini juga punya Wawan sang bisnis manajer, dan Alfas manajer sekaligus bapak angkatnya.
Selesai latihan Tegar merengek minta bermain alat-alat musik yang ada di studio. Satu-satu dijajalnya. Rencananya, Juli nanti ia akan didaftarkan les gitar dan drum. Meski sekarang sudah lumayan mahir dari belajar otodidak.
Sambil menunggu mobil disiapkan, ia bercengkerama bersama tetuanya, Yudi dan Wawan. Tegar memamerkan tablet 10 inci yang baru dibelinya. “Lihat nih Om,” ujarnya sambil memutar video klip Demi Tuhan milik Arya Wiguna.
Tegar sedang gandrung pada lagu itu. Berkali-kali mengulang. Berkali-kali juga meneriakkan penggalan lirik lagu. “Demi Tuhan …!”
Pukul enam sore rombongannya bergerak ke studio ANTV, membelah kemacetan. Wuss… Seperti biasa ia duduk di bangku sebelah sopir.
Tarif Rp35-40 juta
Sampai di studio televisi itu, di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat, ia mengganti kaus abu-abu yang dipakai latihan tadi dengan kaus warna merah, dengan tulisan ‘Tegar’ di bagian dada. Dalam talkshow berdurasi satu jam itu, Tegar mengisahkan mimpinya menjadi artis dan pembalap motocross. Dua cita-cita yang dipendamnya sejak kecil (Lihat Wawancara Tegar: "Saya Dulu Pernah Ngerokok dan Ngelem").
Bocah ini sadar dirinya sudah bisa tampil di layar kaca. Impiannya tercapai, walau masih menganggap ini mimpi. Melayang mengikuti jadwal padat yang disusun manajernya.
Kalau dulu ngamen sehari dapat Rp100 ribu, sekarang tarifnya sekali manggung berkisar Rp35- Rp40 juta.
Pukul 10 malam talkshow selesai. Waktunya tidur untuk anak kecil seumurnya. Tegar bersama rombongan bertolak pulang ke apartemen di daerah Pluit. Sampai di rumah, dia langsung tidur. Tanpa ganti baju.
Sampai VIVAnews mengetuk pintu apartemennya pukul delapan pagi keesokan harinya, Tegar dan beberapa temannya masih tidur.
Pukul 08.30 laki-laki penghuni apartemen mulai bangun. Bergantian mandi di kamar mandi yang bagian pojoknya penuh sabun dan sampo berbagai merek dan ember pakaian kotor.
Setelah mandi, dan sedikit ribut-ribut memilih seragam, mereka saling mencocokkan ukuran. Namun Tegar tak terganggu dengan kesibukan itu. “Biasanya sih sudah bangun, tapi mungkin karena kakinya masih sakit. Tadi malam juga sampai jam sebelas malam,” kata Ratna.
Pukul 09.30, para personel band meninggalkan apartemen. Berangkat ke PRJ.
Sementara itu, Ratna menyiapkan kostum Tegar. Dia menyetrika dua kaus warna merah, satu kaus biru, satu kaus kuning, jaket, dan dua celana jeans. Namun belum lagi selesai, ia gerah dan mengambil botol minuman dari lemari es.
“Belum belanja lagi, padahal Tegar pengen sup sudah berapa hari. Sampai ngiler katanya,” ujar Ratna. Ia meminta Yudi belanja sepaket bahan sup di supermarket bawah apartemen. Tak lupa, popok sekali pakai untuk Safa.
“Uang belanja biasanya Rp500 ribu per minggu,” ujar Ratna. Sampai hari ketiga di minggu ini, ia baru memakainya Rp65.000.
Melihat banyaknya pesanan, Yudi ciut. Ia takut salah. Jadilah, ia meminta Ratna menemani belanja. Melihat tumpukan pakaian yang belum selesai disetrika, akhirnya VIVAnews yang menyelesaikan.
Sepotong kaus Tegar, dan dua celana jeans-nya. Semua bermerek sama. Memang, sudah ada setidaknya empat merek yang ingin endorse bintang cilik itu.
Kepergian Ratna, Safa, dan Yudi tak lama. Mereka kembali dengan menenteng tiga kantung belanja. Ratna langsung sibuk di dapur, meracik sup untuk Tegar.
Sup Ibu
Pukul 11.20 Tegar mulai buka mata. Tak lantas bangkit. Masih menggeliat, meregangkan tubuh di kasur. Lalu menyambar handphone milik Ratna dan lagi-lagi memutar lagu favoritnya. Terdengar lagi dia bernyanyi “Demi Tuhan …!”
Tegar berjalan ke kamar mandi. Dia masih sedikit pincang. Celana jeans dilepas di depan pintu. Lima belas menit mandi, dia keluar hanya berbalut handuk putih, lantas meminta baju ganti.
VIVAnews mengambilkan baju berwarna kuning. Ia bingung. “Gantinya di mana ya? Malu dong, kan sudah sunat,” katanya sambil tertawa. Kami menutup mata dengan guling. Beberapa menit kemudian, Tegar memberi aba-aba dirinya sudah selesai pakai celana.
Selesai berpakaian, ia langsung merebut joystick Playstation yang sedang dimainkan Harpan. “Tegar dulu Om, udah lama Tegar nggak main,” ujarnya.
Sambil memainkan game itu, ia banyak bertanya. Terutama soal istilah bahasa Inggris yang tak dimengerti. “It’s okay artinya apa Om? Om kalau orang Inggris banyak ngomong shit ya Om. Om, di Inggris nyetir mobilnya sebelah kanan ya Om?” itu pertanyaan yang sempat terlontar dari mulutnya.
Playstation tak bisa menghibur perutnya yang lapar. Makanan masih belum siap. Bocah ini memilih bermain dengan gadget-nya. Lalu memperlihatkan foto-foto lucu yang diambilnya pada VIVAnews. Bocah ini mulai akrab dengan kami.
Pukul 12.30 masakan matang. Nasi sepiring penuh, sayur sup, dua potong tempe goreng, dan sambal disodorkan padanya. Ia tak suka daging. Makanan favoritnya: sup, sayur asem, dan tempe orek.
Siang itu VIVAnews ikut makan di samping Tegar. Ia seperti kangen dengan sup buatan Ratna, dan menyantapnya dengan lahap.
“Itu mah nggak pakai sambal ya? Coba ini, mantap!” ujarnya melihat kami makan tanpa sambal. Ternyata, bocah ini pecinta pedas.
Selesai makan, Tegar membuka lemari es, dan meminum air dari botol. Ia mulai manja. Meminta kami mengupaskan mangga sambil membujuk: “Mau nggak? Ini enak lho, nggak asem kok,” katanya.
Permintaan tak berhenti sampai dengan mangga. Ia merengek minta diambilkan gelas, untuk menuang susu. Dari gelas itu, susu strawberry yang dimintanya dituang lagi ke botol minuman yang telah ia habiskan isinya. “Ada-ada aja ya Tegar ini, hehe,” ucapnya, malu sendiri. Apalagi, saat susu yang ia tuang tercecer sana sini.
Sambil mengobrol dengan VIVAnews, Tegar duduk menikmati mangga muda, dan susunya. Tiba-tiba matanya bersinar. Ia tampak kaget. “Ternyata ini (mangga) dicampur ini (susu) enak lho!” ujarnya semangat seolah baru menemukan inovasi paling hebat sedunia.
Tegar. Meski awalnya acuh, ternyata ia sangat ramah. Sambil terus ngobrol ia kemudian memutar lagu yang asing di kuping kami. Lagu berjudul Jangan Marah-marah. “Ini enak lagunya. Iya kan? Cocok buat Kakak kalau lagi galau,” ia memberi rekomendasi. Setengah meledek.
Pukul 2 siang ia tergoda makan lagi. Masih dengan nasi , sup, dan tempe. Luar biasa memang nafsu makan bocah itu. “Tegar mau manasin motor ya, lama nggak dipanasin,” katanya sambil beranjak. Motor yang dimaksud, adalah motocross kesayangannya. Berwarna dominan merah, diparkir di P6.
Ia lantas memakai kaus kaki biru, dan sepatu berwarna merah-hitam. Bakal serasi dengan kaus merah bertulis ‘Tegar’ yang akan dipakainya manggung nanti malam. Penampilannya ditambah jam tangan merah di tangan kanan dan kalung.
Pukul 3 sore ia berangkat ke PRJ. Sesuai jadwal, ia tampil menjadi pembuka konser Setia Band di panggung utama, jam delapan malam.
Ia muncul di panggung lima belas menit lewat jam delapan. Begitu nama bekennya, Tegar Pengamen Cilik disebut, penonton yang sejak tadi duduk lesehan, berdiri dan menyeruak ke depan panggung. Sibuk mengambil foto dan merekam.
Tegar muncul sambil mengacungkan tangan. Tubuhnya tampak kecil ditelan panggung PRJ yang luas. Ia tampil bersemangat, dan penonton yang telah hafal lagunya, ramai-ramai bernyanyi:
Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang sekarang aku disayang …
0 comments:
Post a Comment